Memuat berita yang memihak kepada ISLAM

Desember 13, 2008

Kebenaran yang Hilang: Menghilangkan Kebenaran? [2]

Filed under: Seputar pemikiran islam — Tag:, , , — iaaj @ 8:59 am

sumber dari hidayatullah.com
[Catatan atas terbitnya buku “Kebenaran yang Hilang” karangan Farag Fouda oleh Yayasan Wakaf Paramadina] Bagian 2

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha*

Keshahihan Hadits Kepemimpinan Quraisy

Pada bagian lain, kekesatan buku Faraq Fouda adalah kelicikannya menggiring pembaca untuk menafikan hadits dengan memelintirkan sejarah. Fouda berkata;

“Karena itu untuk membantah hal ini, tidak ada jalan keluar bagi anda kecuali mencermati kembali kasus perkumpulan Tsaqifah Bani Saidah di kota Madinah. Saat itu, kaum Anshar telah berkumpul untuk mengangkat Saad bin Ubadah sebagai pemimpin mereka setelah mangkatnya Rasulullah. Karena itu, Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah al-Jarrah segera berangkat ke sana untuk mencalonkan Abu Bakar. Ketika itu terjadi polemik panjang antara kedua kubu sampai terpilihnya Abu Bakar. Ketika anda mencermati polemik yang berkembang saat itu, ajaibnya anda tidak menemukan sama sekali penggunaan hadis Nabi. Artinya, kalau hadis itu benar-benar shahih, tidak mungkin Saad bin Ubadah, pemuka Khazraj, akan mencalonkan dirinya untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah. Abu Bakar, Umar, dan al-jarrah, pun mencukupkan diri dengan mempersiapkan perdebatan yang sehat. Mereka tidak menyebut-nyebut hadis sama sekali,19 padahal – jika hadis itu memang ada – itu akan menjadi senjata ampuh yang akan segera mengakhiri polemik.”

Perkataan Fouda, “Karena itu, Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah al-Jarrah segera berangkat ke sana untuk mencalonkan Abu Bakar,” adalah salah satu contoh perkataan ngawur, tidak berdasar, dan tidak berbau ilmiah sama sekali. Sungguh, tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa kepergian tiga orang tokoh sahabat ke Saqifah Bani Saidah ini untuk mencalonkan Abu Bakar.

Faktanya (al-haqiqah), justru waktu itu Abu Bakar mempersilakan para sahabat untuk memilih salah satu antara Umar atau Abu Ubaidah.

Pada beberapa nukilan di atas dan sebelumnya, tampak jelas bahwa Fouda hendak memaksakan bahwa hadits tentang kepemimpinan Quraiys itu tidak shahih bahkan tidak ada. Lebih dari itu, Fouda menuduh para ulama fikih, bahwa syarat ini hanyalah rekaan mereka semata, sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab fikih.

Selanjutnya, berkaitan dengan kepemimpinan Quraiys, ada sejumlah hadits tentang hal ini. Di antaranya berbunyi,

الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ .

“Para imam itu dari suku Quraisy.”

Dan, لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمْ اثْنَانِ .

“Urusan (kekuasaan) ini senantiasa di tangan suku Quraiys selama masih ada dua orang di antara mereka yang hidup.”

Hadits yang pertama di atas (Al-a`immatu min Quraisy) diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam Al-Musnad (11859) dari Anas bin Malik dan Abu Barzah Al-Aslami (18941); An-Nasa`i dalam As-Sunan Al-Kubra (5942); Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dari Anas (54/8) dan Ali bin Abi Thalib (54/17); Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf dari Ali (19903); Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (7061) dari Ali; Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari Anas (724) dan dalam Ash-Shaghir dari Ali (426); Al-Baihaqi dalam Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar dari Anas (1595); Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad (957) dari Abu Barzah dan Anas (2325); Al-Khallal dalam As-Sunnah (34) dari Salman Al-Farisi dan Ali (64); Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (929) dari Anas dan Abu Barzah (934); Ar-Ruyani dalam Al-Musnad (746, 750) dari Abu Barzah; Abu Ya’la Al-Maushili dalam Al-Mu’jam (155); Ibnul A’rabi dalam Al-Mu’jam (2259) dari Ali; Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (4635) dari Anas; dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (biografi Ibrahim bin Athiyah Al-Wasithi) dari Anas.

Tentang sanadnya, Imam Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabarani dalam Al-Awsath, dan Al-Bazzar. Para perawi Ahmad adalah orang-orang tsiqah (terpercaya).” [Dalam Tarikh Al-Islam, Imam Adz-Dzahabi (1/443), disebutkan bahwa yang mendatangi Az-Zubair adalah orang-orang Bashrah, sadangkan yang datang kepada Thalhah adalah para pemberontak dari Kufah].

Al-Hafizh Al-Iraqi berkata, “Diriwayatkan An-Nasa`i dan Al-Hakim dari hadits Anas dengan sanad shahih.” [Tarikh Ar-Rusul wa Al-Umam wa Al-Muluk/Imam Ath-Thabari/Jilid 3/Hlm 386-387; Sirah ‘Utsman ibn ‘Affan/DR. Ali Muhammad Ash-Shalabi/Jilid 1/Hlm 418-419; Ad-Daulah Al-Umawiyyah wa Al-Ahdats Allati Sabaqatha wa Mahhadat Laha/DR. Yusuf Al-Isy/Hlm 70-71/Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus/Cetakan kedua/1985 M – 1406 H].

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Diriwayatkan An-Nasa`i dari Anas, Ath-Thabarani dalam Ad-Du’a`, dan Al-Bazzar serta Al-Baihaqi dengan beberapa jalur periwayatan dari Anas. Saya katakan, sungguh saya telah mengumpulkan jalur-jalur riwayat hadits ini dalam satu juz tersendiri dimana ia diriwayatkan oleh hampir empat puluh orang sahabat. … Dan sanadnya hasan.”

Secara ringkas, demikian para ulama lain yang menshahihkan hadits ini; Imam Al-Munawi, Syaikh Muhammad Ja’far Al-Kattani, Al-Ajluni, Al-Burhanfuri, Ibnul Mulaqqin, dan lain-lain.

Sedangkan hadits kedua diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (3240), Muslim (4807), Ahmad (4600), Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman (7101), Abu Awanah dalam Al-Mustakhraj (5582), Abu Ya’la (5464), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (6372), dan lain-lain; dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.

Hadits senada dalam masalah ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ath-Thabarani, Ad-Darimi, Al-Bazzar, Ibnu Abi Ashim, dan lain-lain; dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Said Al-Khudri, Abu Musa Al-Asy’ari, dan lain-lain Radhiyallahu ‘Anhum.

Inti dan kesimpulannya, hadits yang menyebutkan bahwa al-imamatul ‘uzhma (kekhalifahan) berada di tangan suku Quraisy dan bahwasanya suku Quraisy lebih berhak dalam masalah kekhalifahan dibanding suku mana pun; adalah hadits shahih, bahkan ada yang mengatakannya sebagai hadits mutawatir. Dan barangsiapa meragukan sebuah hadits (apalagi lebih) yang sudah jelas keshahihannya, maka keIslamannya pun perlu dipertanyakan lagi.

Hadits Kepemimpinan Quraisy Tidak Disebut-sebut?

Kemudian, dengan gayanya seolah-olah tahu (sok tahu?), Fouda berkata, “Ketika anda mencermati polemik yang berkembang saat itu, ajaibnya anda tidak menemukan sama sekali penggunaan hadis Nabi. … Mereka tidak menyebut-nyebut hadis sama sekali, padahal – jika hadis itu memang ada – itu akan menjadi senjata ampuh yang akan segera mengakhiri polemik.”

Sejujurnya, membaca perkataan Farag Fouda ini, kami hanya bisa mengatakan dalam hati bahwa ini adalah perkataan ngawur dan menyesatkan. Lebih dari itu, perkataan ini juga mencerminkan bahwa Fouda adalah seorang yang malas membaca dan buta sejarah, atau setidaknya tidak tahu banyak soal sejarah, sekalipun dia mengaku telah melakukan penelitian dan menganalisa sejarah dengan cermat.

Fouda berkata dalam mukadimah bukunya, “Walaupun saya tidak menganggap diri saya sebagai spesialis di bidang sejarah atau seorang pakar di bidang itu. Namun, saya merasa telah membaca sejarah dengan tekun, menganalisisnya dengan cermat, mengeceknya dengan teliti, dan tak jarang mengeritik logika yang terkadang mengombang-ambingkan saya.” [“Buku Kebenaran yang Hilang”, halaman 1].

Baiklah, masuk ke pokok persoalan, benarkah saat terjadi peristiwa Saqifah Bani Saidah, sama sekali tidak ada yang menyebutkan hadits Nabi? Lebih khusus lagi, benarkah hadits tentang kepemimpinan suku Quraiys tidak disebut-sebut ketika itu?

Demikian kutipan ringkas tentang peristiwa Saqifah Bani Saidah yang menyinggung penggunaan hadits kepemimpinan suku Quraisy yang terekam dalam sejarah:

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Maka, Abu Bakar pun tampil berbicara. Dia menyebutkan semua keutamaan kaum Anshar dan semua hadits tentang keutamaan kaum Anshar yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu dia berkata; Sungguh kalian telah tahu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, ‘Sekiranya orang-orang menyusuri suatu lembah dan kaum Anshar menyusuri lembah yang lain, niscaya aku akan menyusuri lembah yang dilalui kaum Anshar.’

Sesungguhnya engkau pun sudah tahu, wahai Sa’ad (bin Ubadah), bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, ‘Suku Quraisy adalah penguasa urusan ini. Orang-orang yang baik mengikuti orang baik di antara mereka, dan orang-orang yang buruk mengikuti orang buruk di antara mereka.’ Sa’ad pun berkata, ‘Engkau benar. Kami adalah para menteri, sedangkan kalian adalah para penguasa.’”

Al-Qadhi Ibnul Arabi berkata, “…Dan kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk bermusyawarah, namun mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Ketika hal ini sampai kepada kaum Muhajirin, mereka berkata; ‘Kita suruh mereka datang kemari.’ Maka, Abu Bakar berkata; ‘Tidak, sebaiknya kita saja yang mendatangi mereka.’ Lalu, kaum Muhajirin pun mendatangi kaum Anshar. Di antara mereka terdapat Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah. Mereka pun bergantian bicara.

Sebagian Anshar berkata; ‘Pemimpinnya satu dari kami dan satu dari kalian.’ Maka, Abu Bakar pun berbicara panjang lebar dan mengena dengan kebenaran yang disampaikannya. Kata Abu Bakar; ‘Pemimpinnya adalah kami dan kalian adalah para menteri. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Al-a`immatu min Quraisy (Pemimpin itu dari suku Quraisy). Beliau juga bersabda: Aku wasiatkan kalian agar senantiasa berbuat baik kepada kaum Anshar, terimalah kebaikan mereka dan maafkanlah kesalahannya. Sesungguhnya Allah menamakan kami ash-shadiqun (orang-orang yang jujur) dan menamakan kalian al-muflihun40 (orang-orang yang berbahagia). Dan, sungguh Dia telah memerintahkan kalian agar selalu bersama kami di mana pun dan bagaimanapun kami. Dia (Allah) berfirman, Hai orang-orang beriman, takutlah kalian kepada Allah dan tetaplah kalian bersama orang-orang yang jujur.

Maka, kaum Anshar pun teringat dan tersadar dengan apa yang dikatakan Abu Bakar. Lalu, mereka membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu.”

Menukil Ibnu At-Tin, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya apa yang dikatakan kaum Anshar; ‘‘Pemimpinnya satu dari kami dan satu dari kalian,’ adalah berdasarkan apa yang mereka ketahui dari kebiasaan bangsa Arab ketika itu, dimana tidak ada satu kabilah yang dipimpin oleh seseorang dari kabilah lain. Akan tetapi, manakala mereka mendengar hadits Al-a`immatu min Quraisy (Pemimpin itu dari suku Quraisy), maka mereka pun menarik kembali sikap mereka dan tunduk pada hadits Nabi.” [Fath Al-Bari fi Shahih Al-Bukhari/Ibnu Hajar/Jilid 10/Hlm 465/penjelasan hadits nomor 3394/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah].

Setelah menyebutkan hadits Al-a`immatu min Quraisy, Imam Al-Munawi berkata, “Dengan hadits inilah Abu Bakar dan Umar berargumentasi pada hari Saqifah Bani Saidah. Para sahabat pun menerima hadits tersebut dan mereka sepakat atas pembaiatan Abu Bakar.”

Dari berbagai sumber yang kami sebutkan, jelaslah sudah bahwa apa yang dikatakan Fouda tentang tidak disebut-sebutnya hadits kepemimpinan Quraisy dalam Saqifah Bani Saidah adalah suatu kesalahan dan kengawuran yang nyata. Dan, sejatinya memang taraf ‘keilmiahan’ kaum liberal kurang lebih ya seperti apa yang dipamerkan oleh Fouda ini.

Sahabat Hendak Memberontak Utsman?

Kesesatan dan kengawuran serta pengaburan fakta (al-haqiqah) yang dilakukan Fouda semakin menjadi-jadi. Kali ini Fouda hendak meracuni pembaca, seolah-olah Khalifah Utsman bin Affan sudah sangat melenceng dari Islam dan jauh dari kebenaran, sehingga mesti diberontak dengan senjata. Tak tanggung-tanggung, Fouda menyebutkan bahwa di antara yang hendak memberontak adalah sebagian sahabat senior sekaliber Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah.

Fouda berkata, “… Anda akan berbenturan dengan ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan para sahabat terkemuka lainnya. Apalagi sebagian dari mereka secara terang-terangan telah menyeru angkat senjata dan membelot dari kesetiaan terhadap pemerintahan Usman. Kepada Ali, Abdur Rahman bin Auf berkata, misalnya menyerukan: ‘Kalau engkau mau, silakan engkau angkat senjata. Aku pun akan angkat senjata. Ia (Usman) telah mengambil kembali apa yang telah ia berikan kepadaku.’

Pada halaman berikutnya, Fouda berkata, “Thalhah bukanlah pemula, melainkan juga mengikuti teladan para sahabatnya. Dan ia sendiri adalah salah seorang sahabat Rasul. Intinya, ia adalah orang yang betul-betul ekstrem, dan karena itu rela membinasakan orang lain dan dirinya sendiri.”

Sejumlah fitnah, racun, dan kengawuran ditebarkan Fouda dalam perkataannya ini. Setidaknya ada tujuh poin tuduhan.

Pertama; Fouda mengarang-ngarang cerita bahwa sebagian sahabat terkemuka hendak memberontak terhadap Utsman. Kedua; Secara khusus, Fouda menyebut Abdurrahman bin Auf hendak mengangkat senjata terhadap Utsman. Ketiga; Penyebab Abdurahman bin Auf memberontak Utsman adalah dikarenakan gajinya tidak diberikan. Keempat; Fouda menuduh Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah sebagai provokator. Kelima; Ali bin Abi Thalib mempunyai akses ke Baitul Mal pada masa Utsman. Keenam; agar ceritanya kelihatan ‘nyambung’, Fouda menyebutkan bahwa Utsman membenarkan tindakan Ali yang membuka akses Baitul Mal. Dan ketujuh; dengan kejinya Fouda menuduh Thalhah rela membinasakan orang lain dan dirinya sendiri. Ini sama saja dengan mengatakan Thalhah seorang pembunuh!

Dari ketujuh poin ini, ada sebagian yang sangat serius, dan ada juga sebagian yang menggelikan karena justru menampakkan kebodohan Farag Fouda dan siapa pun yang percaya pada omongannya. Yang menggelikan, adalah pernyataan Fouda bahwa Abdurrahman bin Auf hendak memberontak Utsman karena faktor gaji yang tidak diberikan. Ini jelas-jelas ngawur dan sangat lucu. Bagaimana mungkin Abdurrahman bin Auf yang kaya raya dengan hartanya yang teramat berlimpah marah kepada Utsman hanya karena soal gaji? Siapa pun tahu, Abdurrahman bin Auf adalah seorang konglomerat. Bahkan, bisa jadi dia adalah orang terkaya di antara para sahabat atau umat Islam saat itu. Ibarat sekarang, gaji semacam ini tak lebih sekadar uang recehan bagi Abdurrahman. Justru, Abdurrahman bin Auf membagikan sebagian hartanya kepada seratus orang sahabat yang turut perang Badar (ahlu badr), termasuk Ustman di antaranya.

Dalam kitab Tarikh-nya, Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Az-Zuhri, “Abdurrahman bin Auf berwasiat sebelum meninggal agar memberikan kepada sahabat yang ikut perang Badar masing-masing empat puluh dinar. Ternyata, mereka ada seratus orang, dan Utsman bin Affan termasuk di dalamnya, dan dia juga turut mengambil bagiannya.”50 Jadi, benar-benar tidak ilmiah dan lucu tuduhan Fouda ini. Lagi pula, tidak ada satu pun riwayat (yang shahih) yang menyebutkan bahwa Utsman pernah menghentikan pemberian gaji Abdurrahman.

Kelucuan dan kengawuran berikutnya, adalah pernyataan Fouda bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pejabat Baitul Mal sehingga bisa dengan mudah membukanya. Kata Fouda, “… sampai-sampai Ali tidak punya pilihan lain kecuali membuka akses Baitul Mal.”

Lucu, karena Ali tidak pernah menjabat sebagai penanggung jawab Baitul Mal pada masa Utsman. Bahkan Ali juga tidak pernah menjadi penjabat Baitul Mal pada masa Abu Bakar dan Umar. Lalu, perkataan Fouda ini juga ngawur, karena dikira Baitul Mal bisa dengan seenaknya dibuka oleh pejabatnya dan hartanya dibagi-bagikan begitu saja tanpa izin dan prosedur.

Pada masa Utsman, ada beberapa orang yang pernah menjadi penanggung jawab Baitul Mal di Madinah. Mereka yaitu: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Al-Arqam, dan Uqbah bin Amr. Sampai saat ini, kami belum pernah mendengar dan membaca bahwa Ali bin Abi Thalib pernah diangkat sebagai penanggung jawab Baitul Mal oleh para khalifah; Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Faktanya (al-haqiqah) adalah, bahwasanya Ali selalu dijadikan konsultan atau penasehat oleh para khalifah sebelumnya. Banyak sekali riwayat yang menyebutkan, bahwa para khalifah sering bertanya kepada Ali jika mereka menghadapi suatu masalah yang cukup rumit dan sulit.[www.hidayatullah.com/ bersambung]

Penulis adalah Pemred Pustaka Al-Kautsar, alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.